A. Defenisi Ar-Rahn (Gadai):
Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan
langgeng)
(1); dan bisa juga berarti al-ihtibas (2) wa al-luzum (3) (tertahan
dan keharusan).
Sedangkan
secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang
(pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya,
jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.(4) Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah
harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi
(semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai
barang gadainya itu”.(5)
Sebagai contoh, bila ada seseorang memiliki hutang kepada anda
sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Lalu dia memberikan suatu barang
yang nilainya sekitar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) sebagai jaminan
utangnya. Maka di dalam gambaran ini, utangnya kelak dapat dilunasi dengan sebagian
nilai barang yang digadaikannya itu bila dijual.
Contoh lain, bila ada seseorang yang berhutang kepada anda
sebesarRP.10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah). Lalu dia memberikan kepada anda sebuah barang yang
nilainya sebesar Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) sebagai jaminan
utangnya. Di dalam gambaran kedua ini, sebagian hutang dapat dilunasi dengan
nilai barang tersebut.
Dalam dua
gambaran di atas, baik nilai barang gadaiannya itu lebih besar maupun lebih
kecil dari jumlah utang, hukumnya tetap sama, diperbolehkan.
B. Landasan Disyariatkannya Gadai:
Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim.
Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para
ulama. Di antaranya:
a.
Al-Qur’an:
Firman Allah I:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
Di dalam ayat tersebut, secara eksplisit Allah I
menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam
dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau obyek
pegadaian.
b. Al-Hadits:
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan
beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim III/1226
(no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ
Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi,
sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan
keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).
c. Ijma’ (konsensus) para ulama:
Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun
sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan
mukim.(6) Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya
melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas
radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi
safar, tetapi sedang mukim.
C. Unsur dan Rukun Gadai (Ar-Rahn):
Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memiliki empat unsur, yaitu:
1. Ar-Rahin, Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan
jaminan barang.
2. Al-Murtahin, Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang
meminjamkan uangnya.
3. Al-Marhun/ Ar-Rahn, Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
4. Al-Marhun bihi, Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang
digadaikan.(7)
Sedangkan rukun gadai (Ar-Rahn) ada tiga,
yaitu:
• Shighat (ijab dan qabul).
• Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang
menggadaikan (ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al-murtahin)
• Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang
digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan
dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada
qabdh (serah terima).
Jika semua
ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh
orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn)
tersebut sah.
Syarat gadai (ar-rahn):
Disyaratkan dalam muamalah gadai hal-hal berikut:
Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang
yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas,
yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
Kedua: Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun (barang gadai) ada dua:
1. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik
barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
2. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang
dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
3. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya,(8) karena
Al-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang
wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
D. Kapan Serah Terima Ar-Rahn (Barang Gadai)
Dianggap Sah?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti
rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk
pemberi utang tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang
ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila
barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran.
Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila
barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa
barang yang diukur.
Namun bila
barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara
tumpukan, dalam hal ini ada perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya.
Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada
yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan
murtahin dapat mengambilnya.
Beberapa Ketentuan Umum Dalam Muamalah Gadai:
Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah
terima barang gadai. Di antaranya:
1. Barang yang Dapat Digadaikan.
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar
dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak
dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk
diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang
demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat
dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh
karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan,
kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan
demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian
ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang
hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.”
(Muttafaqun ‘Alaihi)
Imam
Asy-Syafi’i berkata: “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu,
yang pada saat akad gadai berlangsung, (barang yang hendak digadaikan tersebut)
tidak halal untuk diperjual-belikan.”(9)
2. Barang Gadai Adalah Amanah.
Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya
diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang
khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu
hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang
akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang
tersebut kembali ke tangannya.
Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah
yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah
adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan
prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti
kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan
agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa
disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.
3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian
gadai tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
(QS. Al-Baqarah: 283).
Dan sabda Nabi:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari
hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan
yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi (no.1245), dan ini lafazhnya).
4. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab,
sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang,
sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya.
Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut,
sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan
demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian,
baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan
tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin
pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan
manfaat maka itu adalah riba.(10) Demikianlah hukum asal pegadaian.
Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi
utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan
atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air
susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut.
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang
dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
`Alaihi wa Sallam bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai
imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang
yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang
digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk
memberikan makanan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no.3962, Fathul
Bari V/143 no. 2512, ‘Aunul Ma’bud IX/439 no.3509, Tirmidzi II/362no.1272 dan Ibnu
Majah II/816 no.2440).
Syaikh
Abdullah Al-Bassam menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa biaya
pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga
pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada
dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh
yang menerima gadai.(11)
5. Biaya Perawatan Barang Gadai.
Jika barang gadai butuh biaya perawatan -misalnya hewan perahan, hewan
tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam as-sunnah) maka:
– Jika dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh
menggunakan barang gadai tersebut.
– Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan menggunakan barang
tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.
Maksud
barang gadai yang butuh pembiayaan, yakni jika dia tidak dirawat maka dia akan
rusak atau mati. Misalnya hewan atau budak yang digadaikan, tentunya keduanya
butuh makan. Jika keduanya diberi makan oleh pemilik uang maka dia bisa
memanfaatkan budak dan hewan tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang dia
keluarkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang telah lalu dalam masalah
pemanfaatan barang gadai.
6. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.
Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang
berkewajiban melunasi utangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya
dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada
pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka
pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang
tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik
barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat
melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung
sisa utangnya.(12)
Demikianlah
penjelasan singkat seputar hukum muamalah gadai dalam fiqih Islam. Dari
penjelasan di atas, Nampak jelas bagi kita kesempurnaan, keindahan dan keadilan
Islam dalam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Semoga menjadi tambahan
ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
(Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi.
Volume 1 Tahun 2010)
Catatan kaki:
(1 ) Lihat Taudhih Al-Ahkam, karya Abdullah
Al-Bassam IV/519, dan Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq III/195.
(2 ) Al-Wajiz Fi Fiqhi As-Sunnah wal Kitab
Al-Aziz, karya Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi, hal.366.
(3 ) Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya
Wahbah Az-zuhaili V/180.
(4 ) Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya
Wahbah Az-zuhaili V/180.
(5 ) Asy-Syarhu Al-Mumti’ ‘Ala Zadi Al-Mustaqni’
karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin IX/118.
(6 ) Lihat Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq
III/195.
(7 ) Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya
Wahbah Az-zuhaili V/183.
(8 ) Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, karya DR. Shalih
bin Fauzan Al-Fauzan II/69.
(9 ) Al-Umm karya Imam asy-Syafi’i: III/153.
(10) Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq
III/196.
(11 ) Lihat Taudhih Al-Ahkam 4/520-527.
(12) Taudhih Al-Ahkaam, karya Abdullah Al-Bassam
IV/527.